Jumat, 06 Februari 2009

Kenangan Terindah

Duukk..
“Auaw…”, seruku tertahan.
Sebuah pesawat kertas menabrak kepalaku telak saat aku sedang merenungi nilai matematikaku. Pasti Rendy nih, geramku.
Sosok menjengkelkan itu muncul kemudian dengan senyum menyeringai.
“Sorry, ga sengaja Shell !” ucapnya seraya memungut pesawat kertas yang telah hancur ku remas dari tanganku.
“Basi tau ga, kamu kira aku ga tau kalo kamu sengaja? Ga liat apa kalau aku lagi bete? Ngeganggu aja kerjaannya, kamu sih enak punya nilai bagus,” kesalku sambil melotot.
Jangan salah lho! Biar kelakuannya kayak preman pasar gitu, Otaknya encer. Bahkan peringkat 5 besar selama 4 semester. Bingung deh, kenapa tu anak bisa sedangkan aku ga?
“Makanya belajar neng !! Atau mau aku ajarin? Asal bayarannya pas, aku mau kok ngajarin!” gayanya tengil sambil sibuk memodifikasi alat tempurnya tadi yang sumpah hancur banget.
“Uuugghh…ngomong sama kamu bikin tambah bete tau ga?” aku beranjak meninggalkannya, ekor mataku melihat jelas kalo pesawat nyebelin tadi sudah berevolusi menjadi bangau kertas.

Aku pulang dengan wajah murung + ditekuk. Meski ibu ga pernah memarahiku, tapi aku yakin dia pasti kecewa. Ayahku sudah lama tiada. Dan sampai saat ini ibuku lah yang menjadi tulang punggung keluarga demi menghidupi aku dan adikku yang masih duduk di kelas 5 SD. Aku ingin sekali jadi seperti dia. Berkorban demi orang lain yang kita sayangi, entah kapan keinginan itu dapat terlaksana.
“Lho Shell……Sudah pulang? Kok ga ketuk pintu dulu sih anak manis? Gimana nilai matematikanya? Sini ibu liat!” ibu melepas tangannya dari pakaian yang sedang dijahitnya dan mengulurkannya padaku. Aku sungguh tak tega membuatnya bersedih, tapi aku juga tak pandai berdusta. Ma’afin aku ya Rabb……Ma’afin aku ibu…

“Waduh…Aku deg-degan banget nih Shell, kira-kira nilai raportku bakalan bagus ga ya?” Reana, teman sebangkuku menatapku cemas.
“Aku yakin kok nilai kamu bakalan bagus, kamu kan pintar Re!” jawabku menenangkan walaupun sebenarnya aku sendiri tidak tenang. Aku kembali teringat kata-kata ibu waktu itu.
“Shell…kamu pernah bilang kan sama ibu kalo kamu pengen jadi orang yang berguna dan ga nyusahin orang lain? Belajarlah mulai sekarang sayang ! Belajar untuk diri sendiri dan belajar untuk orang lain. Renungilah kata-kata ibu ini, ibu yakin kamu bisa mengambil keputusan yang bijak.”
“Aduh Shell, Bu wali kita udah datang tuh, gugup banget nih!” Reana memegang tanganku erat, membuatku tersadar ke alam nyata.
Dan mendadak sebuah pikiran terlintas di benakku, aku tau apa yang harus ku lakukan.

Raportku mengangguk-angguk lunglai di tanganku ketika ku bawa berlari. Aku belum membukanya, sungguh……! Tak ada gunanya juga, karena aku sudah tau bagaimana isinya. Sekarang yang harus ku lakukan hanya mencari seseorang.
Bruakk…
Aku terjatuh.
“Ma’af…ma’af…aku sedang buru-buru,” aku bersiap melangkah.
“hmmmm……aku belum bilang mau ma’afin lho,” sahutnya mendongakkan wajah sambil tersenyum mengejek.
“Ah…Untung ketemu di sini, ayo ikut aku !” bujukku menarik lengan bajunya.
“Hah?” wajahnya tampak blo’on menyiratkan kebingungan.
“Ayo cepat…!” seruku tanpa peduli.

“Nah yang ini dipindahruas terus di ubah ke bentuk lain,” telunjuknya menjelajahi jawabanku yang salah.
Sudah seminggu Rendy ngeprivat aku. Dia mengajariku hanya ketika ga ada les tambahan di sekolah, atau bisa juga setelah salat magrib-isya kalau aku lagi semangat belajar. Karena ternyata rumah kami berdekatan, dan ibunya pelanggan baik ibuku. Tapi ga ada kemajuan dalam seminggu ini, bahkan ga ada jawabanku yang benar sepenuhnya.
“Sekarang kamu kerjaan yang ini Shell, nanti kita bahas sama-sama.”
Aku menatap kosong ke soal trigonometri itu. Mataku tiba-tiba panas.
“lho Shell, kenapa?”
“kayanya aku ga bakalan bisa lulus UAN deh,” lirihku.
“Kamu memang ga akan bisa jika kamu tidak mencoba. Segala sesuatu itu butuh proses Shell, dan kegagalan merupakan langkah dalam proses itu. Jangan mengalah dengan nasib. Origami yang sehelai kertas aja masih bisa bangkit, masa kamu ga? Semangat donk!”
kata-katanya membuat tubuhku dialiri rasa hangat. Aku menghapus air mata.
“Makasih ya Ren, aku beruntung punya kamu di saat seperti ini.” Ucapku tulus.
Rendy tersenyum dan hampir membuat jantungku copot kerana getaran halus tiba-tiba menyusup ke dalam relung hatiku.

Aku tercenung di depan papan pengumuman kelulusan. Tidak! Aku tidak sanggup melihatnya. Aku takut mengecewakan ibu dan Rendy. Aku menggeleng-geleng cemas sambil menghela nafas. Shelly !!! kamu harus kuat, kata hatiku mencoba menyemangati.
Aku menarik nafas dalam. Ok Shell ! bagaimanapun kamu harus melihatnya.
Aku berusaha berjalan melewati kerumunan yang telah lama berjubel. Mataku menyisir nama-nama yang ada, kerigatku mengucur deras. Tiba-tiba aku terpaku, sebutir embun mengalir jatuh. Peringkat 10, Shellia Verdina, LULUS! Ya Tuhan, benarkah ini ? aku mencubit tangan keras.
“Auaw, sakit !” aku ga mimpi, aku beneran lulus. Oh, terima kasih ya Allah. Terima kasih.

“Ren……!!!” teriakku.
Aku tersengal setelah tiba di depannya. Ku coba mengatur nafas dan siap berkata.
“Rendy, aku…”
“aku tahu kok, kamu lulus kan? Selamat ya Shell,” katanya seraya menyerahkan sesuatu.
Rendy memang selalu tahu apa yang aku inginkan. Dia selalu bisa ngertiin aku.
Ku tatap pemberiannya, sekuntum mawar kertas. Meski ga seindah mawar beneran, tapi bagiku mawar ini menyimpan begitu penuh makna dan ga akan tergantikan dengan mawar manapun.
“kita ajak yang lain jalan-jalan yuk buat ngerayain semua ini?” ajaknya sambil meraih tanganku.
“Ayo !!!” seruku senang.
Dan aku yakin, hari-hariku selanjutnya juga pasti akan indah. Seindah kenangan ini.

1 komentar:

  1. Teman-temen...!!!
    kalo udah baca cerpenku, kasih komentar ya..!
    Aku tunggu lho..Luv U all !!

    BalasHapus